Pendekar Sejati

*) ditulis ketika duduk di bangku Sekolah Dasar

Di sebuah perkampungan Cina yang kumuh, di daerah pedalaman, terdengar suara riang anak-anak bermain. Mereka makin suka karena hujan akan turun, awan terlihat mendung. Awan yang semakin mendung lalu disertai kilat dan bunyi geledek memecahkan suara riang gembira anak-anak. Mereka menjadi takut dan berhamburan lari masuk ke rumah mereka masing-masing.

“Ketepak.. Ketepak”, suara serombongan kuda masuk ke desa kecil tersebut terdengar sangat keras dan kasar. Di atas kuda-kuda itu, menunggang para laki-laki dengan wajah yang garang dan menyeramkan. Empat laki-laki itu saling berpandangan sejenak, lalu kembali memecut kuda mereka dan masuk ke desa. Pria-pria berbadan kekar tersebut masuk ke setiap rumah. Dan terdengar teriakan-teriakan orang tak berdosa sampai mereka tak berdaya lagi untuk berteriak. Setiap orang yang mereka temui di desa itu dari orang tua sampai anak-anak kecil yang masih hijau mereka habisi dengan senjata yang mereka bawa masing-masing. Anak gadis mereka perkosa lebih dahulu baru kemudian dibunuh. Harta yang ada mereka bawa lari. Baju-baju, uang, dan sejumlah perhiasan. Mereka kembali meninggalkan desa kecil itu dengan rasa puas.

Kini, sebuah desa kecillah yang menjadi korban. Desa kecil yang begitu malang. Sunyi dan sepi yang hanya tertinggal. Sebuah desa yang begitu nyata dan kini menjadi sebuah pemukiman yang mati dan sama sekali tidak bergairah. Kampung Sungai Putih, begitulah orang biasa menyebut. Memang, letak perkampungan kecil ini di sepanjang bagian ujung sungai yang sangat jernih, sungai Pai Hoan.

Laki-laki yang sangat kejam dan tidak berperi-kemanusiaan. Dari wajah keempat laki-laki ini tampak kebengisan. Orang yang kelihatan saudara tertua dari yang lainnya kelihatan lebih memimpin. Umurnya sekitar 40 tahun-an terlihat dari sekitar matanya yang mulai berkerut. Alisnya yang tebal dan panjang kurang lebih 10 cm menambah kesan kekejaman pada wajah menyeramkan itu. Di dunia persilatan (kang-ow) ia dikenal sebagai “Si Sesat Alis Liar, Lo Kuan Song”. Adiknya yang pertama, Lo Kuan Tong, bertubuh gendut pendek. Si gendut ini selalu kepanasan dan bajunya selalu terbuka. Ia sangat dimusuhi oleh para bhiksu karena sering mengaku sebagai bhiksu tetapi menggunakan kekuatannya untuk menindas mereka yang lemah. Ia disebut “Si Bhiksu Sesat” dari dunia kangow. Lalu, saudara ketiga dari empat bersaudara, Lo Kuan Tjiong. Di antara saudara-saudaranya, dialah yang paling baik dalam berbicara. Bicaranya yang manis dan halus kadang-kadang membuat orang sama sekali tak menyangka bahwa sesungguhnya ia adalah yang terkejam dalam dunia kangow. Jenggotnya yang panjang menambah kepercayaan orang pada mulut manisnya. Umurnya yang sekitar 30 tahun-an membuat ia lebih dapat diterima anak muda ataupun orang tua. Tetapi tanggannya yang ringan, yang suka memukul orang yang membencinya menjadikan namanya tersebar dan dicap sebagai “Manusia Terbusuk”. Sehingga orang akan berhati-hati padanya jika melihatnya. Yang terakhir adik terkecil yang masih muda, Lo Kuan Tiang. Kuan Tiang yang masih berusia 20 tahun-an. 

Ia lebih tampan disbanding kakak-kakaknya. Mukanya yang belum berkerut sangat baik dilihat daripada muka saudara-saudaranya yang makin hari terlihat makin tua. Kumis tipis yang melintang di atas bibirnya membantu pembentukkan mulutnya yang kecil. Matanya yang jalang lah yang membuat orang tidak tahan melihatnya lama-lama. Juga sorot matanya yang bengis meyakinkan orang berpendapat bahwa ia bukan orang dari kalangan baik-baik. Dialah yang paling tidak dapat mengendalikan emosinya. Pria bejat ini tidak dapat membiarkan anak gadis yang lewat di depan hidungnya, ia telah memperkosa dan merusak masa depan banyak anak gadis maka tak heran Si hidung belang ini yang paling sering berkeliaran di kota-kota dan pasar-pasar untuk mencari anak gadis orang. Dari hari ke hari, orang ingin membasmi empat bersaudara Lo yang terus membuat kekacauan ini. Memang sampai saat ini mereka lah yang kelihatannya paling hebat dalam dunia kangow.

***
Dalam kesepian itu, kedengaranlah suara tangisan seorang anak kecil dari tengah jalan. Anak laki-laki berumur 7 tahun menangis terisak-isak seakan berteriak minta tolong kepada ibunya yang telah meninggal. Tiba-tiba di samping anak itu berdirilah seorang tua yang kelihatan lembut sekali. “Janganlah menangis,” tegur orang itu, “Siapakah namamu?” tanya orang tua itu lembut.
“Chen She Chin,” tanpa malu-malu anak itu menjawab, “ayahku dan ibuku dibunuh orang. Ibuu…,” suara tangisnya kembali mengeras.
“Tak perlu bersedih. Ikutlah aku.” Orang tua itu pun memegang tangan She Chin dan membawanya pergi.

She Chin dibawa pergi ke suatu tempat sepi di atas gunung. Gunung yang berhawa sejuk ini memang sangat nyaman untuk dijadikan tempat tinggal sekaligus tempat berlatih kungfu. Gunung Tabib, biasa orang menyebutnya karena orang tua bijak yang tinggal di puncak gunung dapat mengobati berbagai macam penyakit. Guru Sia Men Thai adalah orang tua yang baik hari dan bijaksana. Selain dihormati di kalangan masyarakat karena selalu mau mengobati orang dengan cuma-cuma, ia juga terkenal dan sangat dihargai dalam dunia kang-ow.

Tiap hari She Chin kecil dirawat dan dididik olehnya. Hingga suatu hari,
“She Chin, kemarilah!” panggil Guru Men Thai dari depan pondok kecil mereka.
Ada apa?” tanya She Chin dengan sopan.
“Engkau adalah anak laki-laki lagipula usiamu sudah 8 tahun. Maukah engkau kuajarkan kungfu dan menjadi muridku?”
“Mau, mau sekali,” jawab She Chin bersemangat. Ia langsung berlutut dan memberi hormat. “Teecu (murid) memberi hormat kepada Suhu (guru). Teecu berjanji akan mematuhi segala yang Suhu perintahkan. Dan teecu akan belajar kungfu dengan sungguh-sungguh serta setia kepada Suhu. Terima kasih Suhu.”
She Chin sangat bergembira. Dan mulai hari itu, ia digembleng oleh Sia Men Thai siang dan malam. Selain giat dalam berlatih kungfu, She Chin juga selalu bertanya kepada gurunya tentang masalah alam semesta serta kehidupan umat manusia yang setiap hari dapat ditemuinya sewaktu ia menuruni gunung pada pagi-pagi benar untuk mendapatkan segala keperluannya dan gurunya.

**
Saat itu masa pemerintahan dinasti Ching, Kaisar Ching Kao Yuen yang masih muda tidak dapat memimpin negara dengan baik. Ia hanya sebagai kaisar boneka. Pemerintahan dikendalikan oleh perdana menteri Siang Kwan yang lalim. Ia sangat licik. Ibusuri ada di bawah pengaruhnya. Begitu juga para menteri, semua mencontoh perbuatan Siang Kwan yang selalu bertindak kejam, memeras dan menindas rakyat dengan berbagai macam pajak dan juga mau bekerja sama dengan bangsa asing.
Sementara Kaisar selalu disodorkan selir-selir baru yang cantik-cantik dan dalam kesehariannya selalu berhura-hura sehingga kurang memperhatikan keadaan negara yang makin hari makin kacau. Kesejahteraan rakyat pun menurun. Kelaparan terjadi dimana-mana. Negara pun dalam keadaan bahaya, akan dijual oleh Siang Kwan, si pengkhianat negara.

Rakyat sangat membenci pemerintah. Kaisar yang hanya dapat bersenang-senang dengan wanita, yang sama sekali tak mau tahu penderitaan rakyat. Para penguasa yang kejam, yang tak memikirkan kesejahteraan rakyat, hanya memikirkan diri sendiri dengan melakukan korupsi bahkan tega menjual negara kepada Mongolia. Maka pemberontakan pun mulai muncul dan menjamur, tetapi semuanya dapat ditumpas dengan mudah karena rakyat jelata bergerak tanpa strategi.
Sementara itu, orang-orang dunia kang-ow beraliran putih juga mulai mengusahakan persatuan dan pergerakan. Saat mereka bertemu satu sama lain, mereka selalu membicarakan tentang pemerintahan yang sudah bobrok. Mereka mengusahakan membentuk persatuan yang kuat dari berbagai aliran perguruan seperti Shaolin, Butongpai, Kunlunpai, Siawlimpai, dan lainnya. Tetapi empat bersaudara Lo memihak dan menjadi andalan Siang Kwan dalam menaklukkan setiap orang yang menentang dan menjadi musuhnya.

**
Waktu berjalan begitu cepat. Setelah 10 tahun berlalu, pada suatu pagi di depan pondok seperti dulu, She Chin dipanggil Guru Men Thai.
“Ya, Suhu. Ada apa Suhu memanggilku?”
“Engkau telah kuajarkan berbagai macam hal selama 10 tahun. Dan Engkau pun telah menguasai seluruh ilmuku, karena engkau amatlah berbakat. Engkau juga tahu bahwa saat ini pemerintahan diduduki oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab dan rakyat sangat menderita. Walau aku telah kurang lebih 13 tahun tidak muncul dalam dunia kang-ow, namun aku yakin mereka saat ini sedang sibuk memikirkan keadaan Negara. Karena itu, muridku, bantulah mereka dan bantulah rakyat. 

Katakanlah kepada mereka bahwa meskipun sekarang aku tak dapat menyumbang tenaga lagi buat negara tetapi aku dapat mengirimkan muridku yang telah kudidik dengan susah payah selama bertahun-tahun untuk mengabdi kepada rakyat.”
She Chin agak kaget juga mendengan penjelasan panjang lebar dari gurunya.
“Sekarang, kemaslah barangmu, She Chin. Dan turunlah gunung ini dengan hati yang damai. Ingat, janganlah mencari orang yang telah membunuh ayah ibumu serta orang sekampungmu. Bantulah rakyat dan jauhilah kejahatan, mengabdilah kepada negara,” pesan Guru Meng Thai.
“Baik, Suhu.” Ia masuk ke dalam pondok kecilnya, lalu keluar lagi dengan buntalan pakaian.
“Saya berjanji akan selalu mengingat pesan Suhu. Selamat tinggal, Suhu.” She Chin memberi hormat.
“Jaga dirimu, Nak!” pesan Sia Meng Thai untuk yang terakhir kali.
Sejak itu, mereka tak pernah bertemu lagi karena beberapa hari kemudian Sia Meng Thai meninggal. Sakit yang selama ini dideritanya cukup berat dan itu tidak diberitahukannya kepada She Chin. Ia hanya menyimpan dan menahan sakit itu.

**
Matahari bersinar terik sekali saat She Chin beristirahat di tengah sebuah hutan kecil. Ia sedang duduk di bawah pohon sambil menghabiskan bekalnya.
Tiba-tiba ia mendengar suara tangisan. Tangisan seorang gadis. Siapa gadis yang menangis di tengah hutan sepi ini. She Chin bertanya dalam hati. Ia menghampiri asal suara itu. Ternyata ada seorang gadis yang akan menggantung diri di sebuah pohon tinggi.
“Tunggu!” She Chin melompat dengan ilmu meringankan tubuh (ginkang) yang tinggi lalu mematahkan tali gantungan itu dengan pedangnya.
“Mengapa engkau menghalangiku bunuh diri?” Suara gadis itu terdengar parau.
“Bunuh diri berarti tidak menghargai hidup yang diberikan Thian (Tuhan). Bolehkah aku mengetahui apa sebabnya engkau ingin bunuh diri di tengah hutan begini?” ucap She Chin dengan penuh perhatian. Ia mengajak gadis itu duduk di batu tak jauh dari tempat gadis itu ingin menggantung diri.
“Namaku Giok Ling. Aku tinggal di pondok kecil pinggir hutan ini bersama ayah, ibu serta adik-adikku. Kami sangat miskin. Beberapa hari yang lalu ibuku meninggal karena sakit keras. Sekarang adikku yang paling besar yang berumur 7 tahun juga tertimpa sakit sama seperti yang diderit ibu dulu. Dua adikku yang lain masih berumur 4 tahun dan 3 tahun. Mereka tak mengerti apa-apa. Sementara ayahku setiap hari hanya berjudi dan mabuk-mabukan. Karena uangnya sudah habis, ia akan menjualku kepada bangsawan tua disini. Sebab itulah aku tak kuat lagi untuk menjalani kehidupan ini.” Ia kembali menangis tersedu-sedu dan jatuh ke dalam pelukan pemuda yang baru dikenalnya itu. She Chin mengelus kepala gadis itu.

Gadis yang sungguh malang, harus menanggung ketiga adiknya yang masih kecil. Ia baru berumur 17 tahun. Bagaikan bunga yang sedang mekar, ia sangat cantik. Wajahnya yang bulat telur, matanya yang indah serta mulutnya yang tidak besar sungguh merupakan paduan serasi. Bentuk tubuhnya yang ramping sangat menarik hati setiap pria yang menjumpainya.
Seperti saat ini ia sedang menangis. Air matanya jatuh berderai di pundak She Chin, pemuda yang begitu gagah dan tampannya. She Chin perlahan melepas pelukannya dan menghapus air mata pada pipi Giok Ling.

“Kau harus tabah. Setiap orang pasti punya masalah. Kau harus kuat. Pikirkanlah adikmu, apa jadinya mereka jika tidak ada engkau yang merawatnya. Mereka membutuhkanmu. Engkau sebagai pengganti ibumu. Sekarang makanlah dulu bakpau ini. Engkau pasti lapar.” She Chin memberikan bekal terakhirnya untuk gadis manis itu.
She Chin menunggu Giok Ling makan. Ada getaran aneh di hati mereka. Sesuatu yang belum pernah mereka rasakan. Inikah yang dinamakan cinta. Mungkinkah cinta datang di saat mereka baru berkenalan? Inikah namanya cinta yang murni? Rasa saling membutuhkan yang terus menggoncang hati mereka. Dan sejuta perasaan asing lainnya yang mengobrak-abrik emosi mereka dan melumpuhkan rasio mereka. Ah...
“Marilah kuantar kau ke rumahmu. Mungkin aku akan bertemu ayahmu dan menasihati beliau untuk selalu memperhatikanmu dan adik-adikmu.” She Chin meraih tangan Giok Ling dan mereka berjalan bersama. Mereka menyusuri jalan setapak di hutan bambu itu.
“Hei, lihat! Itu ayahku.” Giok Ling menunjuk kepada laki-laki setengah baya yang terjengkang di tanah setelah ditendang pria berperawakan gendut.
Tanpa ragu-ragu She Chin maju dan berkata lantang, “Mengapa engkau memukul laki-laki ini?”
“Jangan sok ikut campur. Minggirlah, jika engkau tidak ingin merasakan telapak saktiku!”
“Sesungguhnya aku tidak ingin berkelahi denganmu. Namun, jika engkau yang menginginkannya, baiklah!”

She Chin pun melompat dan menendang dada si gendut. Si gendut amat kaget menerima tendangan itu. Ia terjatuh, ia berdiri lagi dan bersiap-siap mengeluarkan jurus telapak saktinya. Ia berusaha mendekat She Chin. Belum sempat ia mendorong tubuh She Chin, She Chin telah menangkisnya dan meninjunya dengan sebelah tangan. Tinju She Chin kena tepat di ulu hatinya. Ia amat kesakitan dan memegangi perutnya.
“Cepat, beritahu aku siapakah namamu dan siapakah gurumu?” ujarnya sambil mengerang.
“Aku Chen She Chin dan guruku adalah Sia Meng Thai dari Gunung Tabib,” jawab She Chin lembut.
Roman muka si gendut semakin ketakutan saat mendengar nama Sia Meng Thai. Ia langsung kabur.
She Chin membalikkan tubuhnya dan melihat Giok Ling berada di samping ayahnya. “Anak muda, kalau tidak ada engkau mungkin saat ini aku sudah mati,” ucap ayah Giok Ling pelan.
“Tidak usah dipikirkan, Paman. Itu memang kewajiban setiap manusia untuk saling membantu. Aku hanya kebetulan lewat sini dan bertemu Giok Ling. Aku Chen She Chin.”
“Mampirlah sebentar ke rumah kami dan menginaplah beberapa hari karena kau pasti lelah telah berjalan jauh,” ajak ayah Giok Ling sambil berusaha berdiri.
“Hmm..baiklah.”

Sesampainya di pondok kecil, ayah Giok Ling masuk ke dalam kamar Giok Ling dan menangis seperti seorang anak kecil. “Maafkan ayah, Giok Ling. Ayah tahu, ayah telah bersalah. Ayah berjanji akan merawatmu dan adik-adikmu serta tidak akan mabuk dan judi lagi.”
Giok Ling agak kaget. “Tidak apa-apa, Ayah. Mari kita membuka lembaran baru dan hidup rukun selalu!” ucap Giok Ling bijak. Giok Ling pun meneteskan air mata. Dan ia memeluk ayahnya erat sambil berbisik “Aku sayang padamu, Ayah.”
Tanpa diketahui ada sepasang mata elang yang menyaksikan itu semua. She Chin sangat puas. Karenanya Giok Ling dan ayahnya dapat berbaikkan kembali.
Selang tiga hari, saat kondisi kesehatan Giok San, adik Giok Ling, mulai membaik. She Chin pamit kepada ayah Giok Ling untuk melanjutkan perjalanan.
“Aku harus pergi, Giok Ling,” pamitnya kepada Giok Ling di muka pondok itu.
“Mau kemanakah engkau? Bisakah aku ikut bersamamu?” tanyanya sedih.
“Aku harus ke ibukota dan bergabung dengan orang dunia kang-ow lainnya untuk menjalankan perintah guruku. Engkau, tinggallah disini dan bantulah ayahmu merawat adikmu. Aku berjanji akan kembali dan menemuimu disini.”

She Chin memegang pundak Giok Ling dan menatapnya “Sampai jumpa,” ucapnya.
Giok Ling tak kuat lagi untuk menahan tangisnya. Air matanya jatuh berderai membasahi pipinya. Ia tetap berusaha tersenyum agar She Chin dapat meninggalkannya dengan tenang. Dan ia hanya menatap kepergian pemuda yang baru dikenalnya tiga hari yang lalu itu dengan sejuta pengharapan yang tak pasti.

**
“Mau tambah lagi, Tuan?”
She Chin tersentak akan teguran si pelayan. “Oh, tidak tidak, sudah cukup.”
“Baiklah.” Pelayanpun berlalu.
Di pojok kedai makan itu, tiga orang pria sedang membicarakan masalah negara dengan serius. Dari gaya bicaranya, mereka pasti bukan orang sembarangan. Dalam percakapannya, mereka menyebut-nyebut nama perguruan Shaolin, perguruan Butong dan juga empat bersaudara Lo yang jahat. Mereka pasti orang dunia kang-ow, pikir She Chin.
She Chin menghampiri meja orang-orang itu. “Tuan-tuan, dari percakapan Tuan-tuan, saya yakin Tuan-tuan adalah orang yang mencintai negara ini. Karena itu bolehkah saya bergabung? Ee..sebelumnya nama saya Chen She Chin dan guru saya adalah Sia Meng Thai dari Gunung Tabib.” She Chin berkata dengan sangat hati-hati.

Tiga orang persilatan itu kaget juga. Mereka segera mempersilakan She Chin duduk. Dan mereka pun memperkenalkan diri mereka bergantian.
“Namaku Ma Goan. Aku dari Butongpai,” pria yang berkumis dan berjenggot memperkenalkan diri.
“Aku Tang Toh. Aku dari Siawlimpai. Orang-orang menyebutku Dewa Geledek karena suaraku yang berat ini. Ha..ha..ha..” She Chin hanya tersenyum.
“Kalau aku Tjiaw Hang Tee. Aku dari Kunlunpai. Marilah kita melanjutkan percakapan kita.”
Mereka berdiskusi. She Chin yang masih muda lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Ternyata, orang dunia kang-ow telah berkumpul dan berunding bersama di Shaolin kurang lebih setengah tahun yang lalu. Dari perundingan itu telah berhasil mengangkat Piaw Ong sebagai ketua dari semua perguruan, tetapi sampai sekarang belum ada upaya lebih lanjut.
Ma Goan, Tang Toh, Hang Tee, dan She Chin kembali merencanakan pertemuan. Pertemuan kali ini direncanakan berlangsung di Butong. Semua perguruan baik besar ataupun kecil akan diundang.
Pertemuan masih 2 bulan lagi. She Chin berkeliling kota. Ia menyaksikan penderitaan rakyat. 

Kadang-kadang ia memberikan makanannya kepada penduduk. Ia sendiri hidup pas-pasan. Ia sering membantu penduduk yang sedang membangun rumah. Ia juga sering membela rakyat yang sedang dipaksa memberikan makanan kepada tentara, ataupun rakyat yang dipukuli karena kurang dalam membayar pajak. Sehingga dalam waktu sebentar saja, She Chin sudah terkenal.
Sementara itu, di Butong semua orang sibuk karena esok akan berlangsung pertemuan. Beberapa tamu sudah datang hari ini. Ma Goan sibuk mengatur segala sesuatunya. Tang Toh dan Hang Tee juga sudah datang. Mereka juga sibuk memperkenalkan She Chin kepada tamu-tamu. Orang-orang dunia kang-ow kebanyakan suka melihat She Chin yang ramah dan simpatik.
Keesokan harinya, sekitar pukul sembilan Ma Goan sebagai tuan rumah berdiri di depan para undangan. “Tuan-tuan yang saya hormati, terima kasih sekali atas kehadirannya di Butong ini. Seperti Tuan-tuan ketahui, pertemuan kali ini adalah kelanjutan dari pertemuan sebelumnya di Shaolin.

Tapi sebelumnya, saya akan memperkenalkan dahulu seorang pemuda bernama Chen She Chin. Beliau adalah muri dari Guru Sia Meng Thai.”
She Chin dipanggil ke depan. Ia sendiri kaget sebegitu hebatkah gurunya sehingga disebut guru oleh ketua Butong? Dan pesilat dunia kang-ow juga kaget dan agak bingung akan kehadiran murid dari Guru Sia Meng Thai ini.
“Saya beruntung boleh berada di depan Tuan-tuan. Perkenankan saya menghaturkan hormat.” She Chin memberi hormat. Tamu-tamu berbisik tak tahu apa bunyinya.
“Setelah itu saya persilahkan kepada Piaw Ong sebagai ketua,” lanjut Ma Goan.
Piaw Ong berdiri di tempat Ma Goan. “Saudara-saudara, setelah kurang lebih setengah tahun kupikirkan tindakan yang dapat kita lakukan, ternyata aku tidak mendapatkan rencana yang sesuai dengan keadaan kita saat ini.”
Tamu-tamu bergumam.
“Karena itu, Saudara-saudara, aku mengundurkan diri saja dari jabatan ketua ini. Aku rasa ada yang lebih pantas menduduki jabatan ini yaitu, murid dari Guru Sia Meng Thai.”
“Setuju, setuju!” Tamu-tamu setengah berteriak.
She Chin sangat terkejut. Bagaimana mungkin aku yang masih semuda ini memimpin mereka yang berpengalaman banyak, pikir She Chin.

“Maafkan aku, Tuan-tuan. Aku baru berumur 19 tahun. Aku belum berpengalaman. Aku tidak tahu sebanyak kalian mengenai keadaan negara ini. Kurasa, aku belum mampu menjadi ketua,” tolak She Chin dengan sopan.
“Tapi kau adalah murid dari Guru Sia Meng Thai. Kungfumu pasti yang terbaik di antara kami.” Biat Coat dari Gobipai baru berbicara setelah diam sedari tadi.
“Karena usiamu yang masih muda itulah, pemerintah akan meremehkanmu. Di saat itulah kita dapat bertindak dengan kekuatan maksimal,” ujar Bhiksu Pu Lai dari Shaolin bijak.
She Chin teringat pesan gurunya untuk bergabung dengan orang dunia kang-ow dan mengabdi kepada rakyat.
“Baiklah, aku akan menerima jabatan ketua ini. Kumohon saran-saran dari Saudara-saudara. Bantulah aku yang belum berpengalaman ini,” ucap She Chin merendah.
“Tuan..Tuan..!” seorang murid Butong datang dan berteriak-teriak dengan napas terengah-engah. “Gawat, Tuan!”
“Cepat katakan, ada apa?” Ma Goan bertanya tegas.
“Di kaki gunung, Tuan. Ada banyak prajurit dengan dipimpin empat orang berwajah seram sedang menuju ke sini. Mereka pasti akan menyerang kita, Tuan.” Murid lugu itu memberitahukan dengan cepat.
“Oh! Empat bersaudara Lo. Apa yang harus kita lakukan sekarang? Mereka andalan Siang Kwan.” Ma Goan agak takut.
“Empat bersaudara Lo?” She Chin mengernyitkan dahinya. “Cepat, semua ambil posisi dan bersiap. Kita sambut serangan mereka!” She Chin dengan penuh wibawa mengatakannya.
“Trang..ting..,” para prajurit melawan para murid Butong serta sedikit murid dari Kunlun, Siawlim, dan lainnya.
Lo Kuan Tong, si Bhiksu Sesat mendapatkan perlawanan dari Bhiksu Pu Lai. Mereka mengeluarkan jurus andalan mereka masing-masing. Kuan Tong menggunakan golok besarnya, dan Bhiksu Pu Lai menggunakan tongkat perguruannya.
“Hiaa..at” golok besar itu berhasil merobek bagian bawah jubah Bhiksu Pu Lai.
“Terimalah pembalasanku,” seru Bhiksu Pu Lai. Ia melompat dan mengarahkan tongkatnya ke bahu Kuan Tjiong. Bahu Kuan Tjiong sedikit cedera. Skor menjadi 1-1.
Sementara Lo Kuan Tjiong kelihatan seimbang melawan Ma Goan dan Hang Tee. Mereka telah bertarung kurang lebih 50 jurus dan belum terlihat pemenangnya.
Tang Toh dan Biat Coat menghadapi Lo Kuan Song yang tertua. Tang Toh dan Biat Coat berada di ambang kemenangan. Ketua Siawlimpai dan Ketua Gobipai ini bersatu padu mengerahkan seluruh tenaga mereka untuk menghancurkan Kuan Song.

Pada awalnya, Tang Toh memusatkan perhatian pada bahu serta kepala Kuan Song. Sementara Biat Coat menyerang bagian kiri tubuh Kuan Song serta kakinya. Tapi kemudian, mereka mengganti taktik. Biat Coat berusaha menarik perhatian Kuan Song pada penyerangannya. Lalu Tang Toh mengambil kesempatan itu dengan menyerang si Sesat Alis Liar ini berkali-kali. Hingga pada suatu kesempatan bagian perut Kuan Song tergores pedang Tang Toh.
Di dekat mereka, She Chin menghadapi Lo Kuan Tiang, si Hidung Belang. Kuan Tiang terdesak serangan She Chin yang bertubi-tubi.

Kuan Tiang mundur mendekati Kuan Song. “Kakak, kita bentuk saja formasi beton listrik.” Dengan segera Kuan Tiang dan Kuan Song mendekati Kuan Tong dan Kuan Tjiong. Mereka mendekat, Kuan Tjiong dan Kuang Tiang melompat ke atas pundak kakak-kakaknya. Sambil mengacungkan pedang di tangan kanan, kaki kiri mereka terangkat. Tubuh mereka tertumpu di kaki kanan.
Ketua-ketua perguruan terlihat agak takut. She Chin maju menghadapi beton listrik itu. Ia menyerang dan mengelak dengan sangat gesit. Ia melompat menyerang, lalu turun mengelak dan menyerang lagi. She Chin berusaha mengacaukan formasi itu. Mereka memang sangat kuat She Chin tahu bahwa kelemahan pada formasi itu adalah kurang lincahnya mereka untuk mengatasi serangan lawan dari arah yang berbeda, dari arah depan ke belakang dan sebaliknya. Maka itu She Chin menggunakan jurus seribu bayang-bayang. Ia berkelebat ke depan dan ke belakang bagai tiupan angin. Sehingga mereka kerepotan dan tak kuat lagi, formasi itu pun menjadi kacau.
Para ketua perguruan segera menyerang lawannya masing-masing yang telah capai mengeluarkan tenaga dari awal. Sementara ketua perguruan telah beristirahat lama saat mereka tercengang melihat She Chin menghadapi beton listrik dengan cekatan.

Satu demi satu dari empat bersaudara Lo itu tumbang. Pasukan yang melihat itu langsung kabur.
“Ah, aku belum pernah melihat orang sehebat Ketua. Ketua dapat menghancurkan formasi beton listrik itu,” sanjung Piaw Ong yang juga lelah telah menghabisi banyak perwira kerajaan.
“Engkau terlalu memuji, Kak!” She Chin merendah. “Sekarang, marilah kita bersihkan dulu tempat ini,” ajaknya tanpa kesan memerintah.
Mereka masih menginap semalam di Butong. Setelah itu, mereka baru berpisah satu sama lain.
“Tuan-tuan, saya akan memberitahukan bahwa pada akhir bulan ini, tepat tanggal tiga puluh, kembali akan diadakan rapat penting. Tuan-tuan sebagai ketua perguruan diundang, juga termasuk Ketua Gobipai Nyonya Biat Coat. Terima kasih. Sampai jumpa!” pesan She Chin.
She Chin kembali berkelana dari suatu tempat ke tempat lain sambil menunggu akhir bulan. Ia membantu rakyat membasmi kejahatan.
“Terima kasih atas kehadiran Saudara semua. Rapat kali ini akan membicarakan masalah penting. Kita akan mencari cara untuk menggulingkan kekuasaan Siang Kuan.” She Chin mengucapkan kata pembukaan.
“Aku rasa Siang Kuan telah berkurang kekuatannya setelah empat bersaudara Lo yang menjadi jagoannya kita habisi. Lebih baik kita bersatu di satu tempat bersama murid-murid kita lalu menyerang ke dalam ibukota,” usul Hang Tee.
“Walaupun empat bersaudara Lo telah tidak ada, tetapi penjagaan ibukota masih sangat ketat. Aku punya satu kenalan baik, seorang menteri keamanan negara. Ia adalah Ciu Tat. Ciu Tat adalah satu-satunya menteri yang jujur. Ia tidak pernah menindas rakyat. Kurasa, Ciu Tat dapat bekerja sama dengan kita. Ia dapat mengurangi jumlah pasukan di dalam ibukota dan mengendurkan penjagaan di gerbang kota. Aku akan berbicara dengannya jika Tuan-tuan setuju.” Tang Toh menjelaskan usulnya.
“Aku rasa ide Tang Toh adalah ide yang bagus.” Ma Goan kelihatannya setuju sekali.
Biat Coat dan Bhiksu Pu Lai juga mengangguk-angguk setuju.
“Aku pun setuju. Cepat bertanyalah pada Ciu Tat dan kabarkanlah kepada kami hasil perundinganmu dengannya.” She Chin menyudahi rapat itu.
Sepuluh hari kemudian rapat rahasia kembali diadakan.
“Bersyukurlah kita kembali dapat berkumpul saat ini. Bagaimanakah hasilnya, Tuan Tang?” She Chin yang masih muda tak dapat menunggu kabar dari Tang Toh lebih lama lagi.
“Ciu Tat setuju dengan rencana kita. Ciu Tat juga muak dengan pemerintahan. Ia akan mengendurkan penjagaan di gerbang kota. Ia akan bergerak dari dalam. Setelah kita masuk ke ibukota, saat semua orang dalam istana sedang bingung, Ciu Tat akan mengacaukannya lagi. Lebih dari itu, ia akan meminjamkan 200 pasukan kepada kita,” dengan penuh semangat Tang Toh memberitakannya.
“Beruntung sekali kita. Tapi ibukota yang tidak terlalu besar ini tidak mungkin dapat menjadi medan pertempuran antara para pasukan dan orang dunia kang-ow yang sangat banyak, maka itu kita perlu mencari jalan keluar untuk masalah ini,” ujar Biat Coat cukup cerdik.
Semuanya mengangguk-angguk mengerti maksud Biat Coat. Lalu mereka berpikir keras.
“Ah! Aku punya akal.” She Chin memecahkan kesunyian. “Aku dan pasukanku akan menyerang ke dalam istana. Aku akan bertempur dan berpura-pura kalah lalu kabur melalui gerbang timur ibukota. Di depan gerbang, telah menunggu orang-orang dunia kang-ow. Saat pasukan istana mengejar, kita gempur habis-habisan di luar kota. Aku yakin pula bahwa rakyat akan membantu kita.” Suara lantang yang keluar dari mulut anak muda ini mengejutkan para ketua perguruan yang rata-rata sudah berumur.
“Baiklah jika kita menyebarkan isu-isu kepada rakyat akan pemberontakan besar-besaran ini sehari sebelum rencananya, sehingga rakyat dapat bersiap-siap.” Bhiksu Pu Lai akhirnya memberi usul juga.
“Kurasa awal bulan depan, rencana ini bisa kita laksanakan. Kita masih punya waktu beberapa minggu untuk dapat mempersiapkan segala sesuatunya,” Ma Goan memutuskan.
“Aku pun setuju dengan bulan depan. Tugas untuk menyebarkan isu-isu mungkin lebih baik jika diberikan pada Nyonya Biat Coat yang mempunyai murid banyak. Tetapi, jangan sampai prajurit mengetahuinya. Sementara itu, kita terus berhubungan satu sama lain. Inilah rapat terakhir kita. Sampai jumpa di medan peperangan!” She Chin memberi penghormatan dan meninggalkan ruangan.
Setelah minggu persiapan berlalu, perang pun berkecamuk. She Chin memimpin pasukannya masuk ke ibukota. Rakyat juga ada yang bergabung dengan pasukan She Chin.
Suasana dalam istana kacau balau mendengar adanya penyerangan mendadak ini. Dari kediaman Ciu Tat, keluar banyak pasukan mengobrak-abrik istana kaisar dan juga kediaman Siang Kuan. Pasukan kerajaan menghadapi serangan dari dalam dan dari luar.
She Chin dapat menerobos istana dengan mudah. Pasukan She Chin membakar bagian depan kediaman Siang Kwan untuk memancingnya keluar. Siang Kwan akhirnya keluar dan memimpin pasukan kerajaan.
Pasukan She Chin bertempur dengan pasukan kerajaan. Ia berpura-pura kalah dan terdesak sampai ke luar kota melalui gerbang timur. Siang Kwan mengomandokan untuk mengejar terus. Sampai ke luar kota, mereka sadar bahwa mereka telah ditunggu. Pasukan kerajaan digempur habis-habisan oleh orang dunia kang-ow dan juga rakyat biasa yang mendendam kepada pemerintah.
She Chin memilih lawan sang perdana menteri, Siang Kwan. Siang Kwan bukan tandingan She Chin. She Chin hanya mendesaknya, ia tidak ingin membunuhnya. Siang Kwan terjerembab dan berusaha bangun kembali.
“Hyat...” sebuah pedang mengkilap kini ternodai darah. Ciu Tat telah menebas kepala atasannya sendiri.
Pasukan kerajaan kocar-kacir. Semua rombongan pasukan pemberontak masuk ke dalam ibukota. Malam itu semua rakyat bergembira seakan ada pesta besar.
Kaisar pun sudah terbangun dari tidurnya. Kaisar kini sadar akan harga dirinya selama ini di mata rakyat. Kaisar tahu betapa menderitanya rakyat selama ini sehingga meledak pemberontakan besar.
Beberapa hari kemudian, datanglah pengumuman pengangkatan perdana menteri baru Ciu Tat dan pemecatan kepada menteri-menteri yang korupsi dan bertindak sewenang-wenang. Rakyat menyambut gembira pengumuman itu.

**
Seorang pemuda tampan yang gagah dengan langkah gontai berjalan di daerah terpencil menuju suatu pondok. Pondok kecil yang tak akan pernah dilupakannya. Pondok kecil tempat ia menumpang selama tiga hari. Pondok di pinggir huran itu masih seperti dulu. Pondok itu masih kecil.
Si pemuda mempercepat langkahnya dengan beribu-ribu perasaan tak menentu.
“Paman?” tegurnya seperti agak ragu.
Yang disebut menengok.
“Kau...She Chin,” ujarnya seperti agak heran. “Kemana saja kau, Nak?” pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya, sambil menggoncangkan pundak She Chin.
“Aku baru dari ibukota, Paman. Ee..dimanakah Giok Ling?” tanya She Chin tak sabar.
“Ia sedang mencari kayu di hutan. Susullah!”
“Baik, Paman!” ujar She Chin bersemangat.
She Chin segera berlari masuk ke hutan, ke tempat ia pertama kali bertemu Giok Ling. Dan seorang gadis manis dilihatnya sedang duduk manis di atas batu.
“Giok Ling?” She Chin menegurnya pelan, menyadarkannya dari lamunan.
Si gadis menengok dan..
“Oh, Kak She Chin!” Ia berlari kepada She Chin dan jatuh pada pelukannya.
“Akhirnya kau pulang juga, Kak”
“Ya, aku sudah kembali. Aku berjanji tak akan meninggalkanmu lagi,” She Chin berkata setengah berbisik.
Tak tertahankan lagi, air mata Giok Ling kembali jatuh satu demi satu. Rasa rindu yang telah begitu lama dipendamnya, kini terlepas sudah. Sebagai gantinya, rasa aman dan teduh dari seorang pemuda yang telah matang kini diperolehnya. Giok Ling dan She Chin telah menjadi dewasa. Mereka telah belajar banyak hal. Mereka telah belajar bahwa cinta dapat tumbuh kapan saja. Bahwa cinta dapat hadir saat kita dalam kesulitan. Bahwa cinta sejati dapat hadir begitu saja di tempat dan waktu yang tak terduga. Bahwa cinta kasih sejati dapat mempersatukan. Bahwa cinta menjadikan mungkin segala sesuatu yang tak mungkin.
Sepasang anak manusia itupun berjalan di jalan setapak hutan bambu itu dengan panduan sinar fajar yang mengintip di sela-sela dedaunan pohon-pohon besar.

Comments